Peristiwa tragis menggemparkan warga Medan. Seorang siswi Sekolah Dasar (SD) berinisial AI, 12 tahun, diduga tega membunuh ibu kandungnya sendiri, Faizah Soraya (42). Korban ditemukan tewas dengan luka tusuk di sekujur tubuh di kediaman mereka.
Kejadian pilu ini dilaporkan terjadi pada Rabu (10/12/2025) sekitar pukul 05.00 WIB di Jalan Dwikora, Kelurahan Tanjung Rejo, Kecamatan Medan Sunggal. Pelaku yang masih duduk di bangku SD ini kini telah diamankan pihak kepolisian untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Kasatreskrim Polrestabes Medan, AKBP Bayu Putro Wijayanto, membenarkan penangkapan pelaku. Ia menyatakan bahwa pemeriksaan terhadap AI dilakukan dengan hati-hati mengingat usianya yang masih di bawah umur dan kondisi psikologisnya yang mungkin terguncang.
“Masih kita periksa, karena masih kecil dan trauma, dan harus ada pendamping nih,” ujar AKBP Bayu kepada awak media. Motif di balik aksi sadis ini masih terus didalami oleh penyidik. Polisi juga masih mengumpulkan data mengenai jumlah dan jenis luka tusukan yang dialami korban.
Jasad korban pertama kali ditemukan oleh anak sulungnya yang mendengar teriakan minta tolong. Suami korban yang segera turun dari lantai dua mendapati istrinya sudah tergeletak di kamar tidur dengan kondisi berlumuran darah.
Seorang saksi mata menuturkan, “Korban ditemukan dengan kondisi di sekujur tubuh ada beberapa tusukan dan darah berceceran di lantai.” Pihak keluarga segera menghubungi Rumah Sakit Colombia dan Polsek Medan Sunggal. Tim INAFIS Polrestabes Medan kemudian mengevakuasi jenazah korban ke Rumah Sakit Bhayangkara untuk proses autopsi.
Analisis Kriminolog Soal Pola Asuh
Menanggapi kasus ini, kriminolog Adrianus Eliasta Sembiring Meliala memberikan pandangannya. Ia menduga ada kaitan kuat antara pola asuh orang tua dengan tindakan kekerasan yang dilakukan anak di bawah umur.
Adrianus menjelaskan ada dua teori utama yang bisa menjelaskan mengapa seorang anak tega membunuh orang tuanya. “Ada dua teori anak tega membunuh ibu kandungnya. Pertama, pembunuhan disebabkan anak belum bisa mengelola rasa marahnya. Kedua, anak memiliki temperamen pemberang. Keduanya sama-sama menghasilkan perilaku meledak yang bisa fatal,” ucapnya.
Ia menambahkan, pola asuh yang keras, penuh bentakan, kemarahan, atau hukuman fisik, dapat memicu respons berbeda pada anak dibandingkan pola asuh yang lembut. Gabungan antara emosi yang belum matang, temperamen pemarah, dan pola asuh keras berpotensi menciptakan situasi yang berujung pada tindakan ekstrem.
Proses Hukum Bagi Pelaku Anak
Adrianus Meliala juga menguraikan prosedur hukum bagi pelaku anak sesuai Undang-Undang Perlindungan Anak. Jika perbuatan tergolong ringan dan tidak menimbulkan korban jiwa, anak dapat dikembalikan kepada orang tua. Namun, untuk kasus yang menyebabkan korban jiwa, anak dapat ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA).
Pendampingan psikologis bagi pelaku anak, menurutnya, sangat penting dan harus dimulai sejak awal penangkapan. Pendampingan ini bisa melibatkan psikolog kepolisian, Dinas P2TP2A, atau lembaga swasta.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga berpotensi dilibatkan sebagai ahli dalam persidangan. “Sebagai ahli, KPAI tidak boleh memihak, harus obyektif dan apa adanya. Mandatnya KPAI adalah melakukan dukungan (bisa macam-macam dimensinya) terhadap anak sebagai pelaku dan korban,” pungkasnya.
Sumber: Grid.id






