Gubernur Jabar Dedi Mulyadi Angkat Bicara Soal Surat Edaran yang Dikritik Pakar Hukum

Pakar hukum menyoroti maraknya penerbitan surat edaran (SE) oleh kepala daerah, termasuk Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi. SE tersebut dinilai berpotensi keluar dari koridor hukum dan dianggap sebagai aturan yang mengikat publik secara keliru.

Rusli K Iskandar, pakar hukum dari Universitas Islam Bandung (Unisba), mengingatkan bahwa SE seharusnya berlaku untuk urusan internal kepala daerah. Ia berpendapat bahwa SE yang ingin mengikat publik seharusnya memiliki kedudukan setingkat Peraturan Daerah (Perda) dan melalui proses konsultasi.

“SE tidak bisa dibuat seenaknya, (apalagi) menabrak koridor hukum,” ujar Rusli, dilansir dari Kompas.com. Ia menekankan bahwa hukum memiliki etika yang posisinya berada di atas aturan.

Rusli menambahkan, SE yang dianggap mengganggu atau meresahkan masyarakat serta iklim usaha dapat digugat dan dievaluasi oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Kemendagri bahkan dapat memberikan sanksi kepada kepala daerah yang menerbitkan SE bermasalah.

Hal senada diungkapkan pakar kebijakan publik, Agus Pambagio. Ia menilai penerbitan SE oleh berbagai tingkatan pemerintahan, termasuk Pemda, kerap berpotensi melanggar peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Agus menegaskan bahwa SE hanya mengikat secara internal.

“Jangan salah kaprah, harus sesuai dengan UU No 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. SE itu mengikat secara internal saja, bukan untuk mengatur publik,” tegas Agus.

Agus mencontohkan, SE terkait larangan truk Over Dimension Over Load (ODOL) yang bertujuan baik, namun bisa disalahgunakan untuk pungutan liar atau tilang ilegal. Menurutnya, SE tidak dapat menjadi dasar penilangan oleh polisi; dasar hukum yang sah adalah Perda.

Menanggapi kritik tersebut, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengakui bahwa surat edaran memang memiliki kekuatan hukum yang lemah dan berada di bawah undang-undang serta peraturan daerah.

Namun, Dedi menjelaskan bahwa penerbitan SE baru-baru ini merupakan respons terhadap situasi kebencanaan di Jawa Barat, seperti banjir dan tanah longsor. Ia menyebut SE tersebut sebagai langkah mitigasi bencana.

“Saya memahami bahwa surat edaran yang dikeluarkan itu pasti memiliki kekuatan hukum yang lemah. Jauh di atas undang-undang. Saya memahami itu. Tetapi situasi kita hari ini adalah situasi kebencanaan. Di mana banjir terus terjadi, longsor terus terjadi,” ucap Dedi.

Menurutnya, bencana alam yang berulang disebabkan oleh kesalahan tata ruang dan perizinan yang memungkinkan pembangunan di kawasan rawan bencana. Ia mencontohkan banyaknya bangunan yang berdiri di atas rawa, sawah, daerah aliran sungai, atau perbukitan berpotensi bencana.

Dedi menilai kekeliruan dalam penyusunan regulasi daerah dan penerbitan izin bangunan ini berpotensi menimbulkan bencana lebih besar. Oleh karena itu, SE diterbitkan sebagai upaya pencegahan.

“Kekeliruan itu berpotensi menimbulkan bencana. Sehingga surat edaran itu adalah sebagai upaya mitigasi untuk mencegah terjadinya bencana yang lebih besar,” jelas Dedi Mulyadi.

Sebagai pemimpin, Dedi menekankan pentingnya mengambil kebijakan strategis untuk melindungi warganya dari bencana, terutama dalam kondisi darurat di mana keselamatan menjadi prioritas utama.

Sumber: Grid.id