Parafrase dari ini mencerminkan kekesalan publik yang merasa bahwa situasi semacam ini mungkin terjadi karena adanya keistimewaan yang tidak dimiliki oleh orang lain.
Sementara itu, akun lain berkomentar, “Sangat jenius. Apalagi, ini dilakukan sambil menjabat dan berkampanye.” Kritik ini tidak hanya mempertanyakan kelogisan akademis Bahlil, tetapi juga implikasi politis dari posisinya sebagai pejabat yang aktif dalam kampanye politik.
Baca juga: Virgoun Bawa Saksi Ahli ke Pengadilan, Ingin Hak Asuh Anak
Kontroversi Pengaruh Jabatan dalam Dunia Akademik
Isu ini memunculkan perdebatan tentang hubungan antara jabatan publik dan dunia akademik di Indonesia.
Banyak yang merasa bahwa pencapaian akademik Bahlil, yang dicapai di tengah tanggung jawab besar sebagai menteri, dapat menimbulkan kesan bahwa ada kelonggaran atau pengecualian dalam proses akademis yang diterapkan untuk pejabat publik.
Fenomena seperti ini bukan hal baru di Indonesia, di mana beberapa pejabat negara sebelumnya juga mendapat sorotan atas gelar akademis mereka yang diraih dalam waktu yang singkat atau di tengah jabatan strategis.
Bagi sebagian orang, hal ini mencerminkan ketidakadilan dalam sistem pendidikan yang dianggap bisa lebih mudah ditembus oleh mereka yang memiliki kekuasaan dan koneksi.
Kesimpulan: Promosi doktor Bahlil Lahadalia, dengan segala kontroversinya, memicu diskusi lebih luas tentang kualitas dan integritas sistem pendidikan tinggi di Indonesia.
Banyak yang mempertanyakan apakah pencapaian akademik yang diraih oleh pejabat publik benar-benar murni, atau hanya sekadar formalitas yang diuntungkan oleh status dan jabatan.
Kritik dan sorotan yang diarahkan pada Bahlil menunjukkan bahwa masyarakat semakin kritis terhadap fenomena yang melibatkan politisasi pendidikan di kalangan elite.(*)