Setelah pertimbangan yang matang, majelis hakim mengumumkan vonis terhadap Lukas Enembe dalam kasus suap dan gratifikasi. Terdakwa, Gubernur Papua nonaktif, divonis delapan tahun penjara karena terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi berupa penerimaan suap dan gratifikasi.
Putusan hakim ini didasarkan pada pelanggaran Pasal 12 huruf a dan Pasal 12B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP juncto Pasal 65 Ayat (1) KUHP. Ini adalah landasan hukum yang digunakan untuk menghukum Lukas Enembe atas perbuatan korupsi yang telah terbukti.
Selain hukuman penjara, hakim juga menjatuhkan hukuman denda senilai Rp 500 juta kepada Lukas Enembe. Denda ini bersubsidi selama empat bulan, yang berarti terdakwa memiliki waktu untuk membayar denda tersebut. Namun, apabila denda tidak dibayar, maka terdakwa akan menjalani pidana kurungan selama empat bulan sebagai gantinya.
Selanjutnya, hakim menjatuhkan hukuman tambahan kepada Lukas Enembe, yakni membayar uang pengganti sejumlah Rp 19.690.793.900. Uang pengganti ini harus dibayar dalam waktu selambat-lambatnya satu bulan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Ini adalah upaya untuk mengganti kerugian yang timbul akibat tindakan korupsi yang dilakukan oleh Lukas Enembe. Jika harta benda terdakwa tidak mencukupi untuk menutupi jumlah uang pengganti, maka terdakwa akan menjalani pidana penjara selama dua tahun.
Terakhir, majelis hakim menjatuhkan hukuman berupa pencabutan hak politik terhadap Lukas Enembe selama 5 tahun. Ini adalah hukuman tambahan yang memiliki dampak jangka panjang terhadap hak-hak politik terdakwa.
Penting untuk dicatat bahwa putusan hakim ini merupakan hasil dari proses hukum yang dilakukan secara adil dan transparan. Terdakwa dan jaksa penuntut umum memiliki hak untuk menyampaikan argumen dan bukti dalam persidangan, dan putusan hakim didasarkan pada fakta dan hukum yang ada.