Latar Belakang dan Alasan Putusan Mahkamah Konstitusi Menolak Permohonan Uji Materiil terhadap Batas Usia Capres-Cawapres

Ketua MK- Anwar Usman

Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini mengambil langkah tegas dengan menolak permohonan uji materiil terkait Pasal 169 huruf q Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal ini mengatur batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) di Indonesia. Putusan ini memiliki dampak signifikan pada persyaratan pencalonan pemimpin negara dalam Pemilu 2024 dan memunculkan berbagai pertanyaan serta diskusi. Artikel ini akan menguraikan latar belakang permohonan, alasan-alasan MK dalam menolak permohonan, dan dampak dari putusan tersebut.

Permohonan Uji Materiil oleh PSI

Perkara ini dimulai dengan permohonan yang diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) melalui sejumlah perwakilan, termasuk Giring Ganesha Djumaryo, Dea Tunggaesti, Dedek Prayudi, Anthony Winza Probowo, Danik Eka Rahmaningtyas, dan Mikhail Gorbachev Dom. Mereka memohon agar batas usia minimal calon presiden dan wakil presiden yang semula 40 tahun, diturunkan menjadi 35 tahun. Alasan di balik permohonan ini adalah untuk memberikan peluang lebih luas kepada generasi muda untuk terlibat dalam proses politik dan pemilihan pemimpin negara.

Bacaan Lainnya

Baca juga:10 Fakta Mahkamah Konstitusi (MK) Menolak Permohonan Uji Materiil terhadap Batas Usia Capres-Cawapres

Putusan MK

Ketua MK, Anwar Usman, mengumumkan bahwa MK menolak permohonan tersebut secara keseluruhan. Dalam sidang yang digelar pada 16 Oktober di Gedung MKRI, Jakarta, sebanyak sembilan hakim konstitusi menyetujui keputusan ini, sementara dua hakim MK, Guntur Hamzah dan Suhartoyo, menyampaikan dissenting opinion. Putusan ini sangat menentukan dalam pembentukan kebijakan pemilihan calon presiden dan wakil presiden di Indonesia.

Pertimbangan Hakim Arief Hidayat

Dalam pertimbangannya, Hakim MK Arief Hidayat menguraikan sejarah pembentukan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang menetapkan syarat usia capres-cawapres. Menurutnya, usia tersebut ditentukan sebagai ranah kebijakan pembuat undang-undang dan bukan hasil dari kebiasaan atau konvensi. Arief Hidayat juga menolak argumen PSI yang mengacu pada Perdana Menteri Sjahrir yang berusia di bawah 40 tahun. Sebab, hal ini dianggap tidak relevan dengan syarat usia yang diatur dalam UU. Dengan penjelasan ini, Arief Hidayat menggarisbawahi bahwa MK harus memahami dan menghormati proses pembentukan hukum yang ada.

Baca juga: Mahkamah Konstitusi Menolak Permohonan Uji Materiil terhadap Batas Usia Capres-Cawapres Jadi 35 Tahun

Berbagai Permohonan

Selain PSI, sejumlah pihak, termasuk Partai Garuda dan beberapa kepala daerah, juga mengajukan permohonan terkait batas usia calon presiden dan wakil presiden. Namun, MK dengan tegas menegaskan bahwa batas usia minimal 40 tahun tetap berlaku. Ini menunjukkan bahwa persyaratan usia calon pemimpin negara adalah isu yang mendapat perhatian luas dalam masyarakat Indonesia.

Sorotan Publik

Keputusan MK ini menjadi sorotan publik yang lebih besar karena berhubungan dengan wacana Gibran Rakabuming Raka, anak sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wali Kota Solo, yang berencana mencalonkan diri sebagai calon wakil presiden di Pemilu 2024. Dalam konteks UU yang berlaku saat ini, usia Gibran yang baru berusia 36 tahun tidak memenuhi syarat. Hal ini memicu berbagai diskusi mengenai potensi perubahan dalam peta politik Indonesia.

Baca juga: Motif Siswa SMP Pelaku Bullying dan Penganiayaan di Cilacap

Spekulasi Terkait Langkah Politik

Beberapa pihak menduga bahwa permohonan uji materiil UU Pemilu di MK ini mungkin terkait dengan langkah politik Gibran. Bahkan beberapa pemohon sempat menyinggung sosok Gibran dalam permohonannya. Spekulasi ini membuka ruang bagi pertanyaan etis dan politis terkait penggunaan MK sebagai alat untuk mencapai tujuan politik tertentu.

Kritik Terhadap MK

Kritik terhadap putusan MK datang dari berbagai pihak, termasuk Menko Polhukam sekaligus Mantan Ketua MK, Mahfud MD, serta beberapa pakar hukum tata negara dan partai politik. Mahfud berpendapat bahwa MK tidak memiliki wewenang untuk mengubah aturan yang terkait dengan batas usia calon presiden dan wakil presiden. Menurutnya, perubahan aturan tersebut harus dilakukan oleh DPR dan pemerintah sebagai positive legislator, dan bukan oleh MK yang berstatus negative legislator. Mahfud menekankan pentingnya menjaga pemisahan antara lembaga yudikatif dan eksekutif.

Baca juga: Update Kasus Bullying di Cilacap: Bagaimana Hukumannya?

MK sebagai Negative Legislator

Pertimbangan Mahfud ini menggarisbawahi peran MK sebagai negative legislator. MK bertanggung jawab untuk memastikan bahwa undang-undang yang ada sesuai dengan UUD 1945, namun MK tidak memiliki kewenangan untuk menambahkan aturan baru ke dalam undang-undang. Ini menciptakan tantangan dalam menilai batas wewenang MK dalam mengubah hukum yang ada.

Pertimbangan Batas Usia Maksimal

Meskipun MK telah menolak permohonan terkait batas usia minimal, masalah batas usia maksimal calon presiden dan wakil presiden masih menjadi bagian dari sidang perkara ini yang berlangsung di MK. Dalam konteks perdebatan yang lebih luas mengenai persyaratan pemilihan calon pemimpin negara, pertimbangan ini tetap relevan dan akan menjadi topik pembicaraan yang hangat dalam beberapa waktu ke depan.

Dengan putusan ini, MK telah mengukuhkan bahwa batas usia minimal 40 tahun akan terus berlaku untuk calon presiden dan calon wakil presiden di Indonesia. Dengan demikian, perubahan signifikan dalam persyaratan usia calon pemimpin negara tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Putusan ini menggarisbawahi pentingnya menjaga keseimbangan antara interpretasi hukum dan kebijakan dalam sistem hukum Indonesia. Dengan demikian, MK telah menetapkan pandangan hukum yang konsisten dalam menghadapi isu ini.