Dua peserta meninggal dunia dalam ajang Siksorogo Lawu Ultra 2025. Peristiwa tragis ini mendorong Dokter Tirta untuk angkat bicara mengenai potensi risiko medis yang mengintai para atlet olahraga ekstrem.
Menurutnya, tubuh manusia selalu memberikan sinyal peringatan sebelum mencapai titik kritis. Tanda-tanda seperti rasa lemas mendadak, sesak napas, atau perubahan fisik lainnya harus diwaspadai secara serius oleh peserta.
“Semua penyakit akan memberikan alarm terlebih dahulu kepada tubuh,” jelas Dokter Tirta melalui unggahan di media sosialnya.
Ia menegaskan bahwa serangan jantung bisa saja terjadi pada pelari yang terlihat bugar. Beban kerja jantung meningkat drastis, terutama saat menghadapi medan dengan elevasi tinggi.
Faktor elevasi gain (EG) menjadi salah satu penyebab utama peningkatan risiko medis. Kenaikan elevasi yang signifikan membuat intensitas olahraga jauh lebih berat dibandingkan lari di medan datar.
Sebagai contoh, rute 15 kilometer dengan EG 1500 meter dapat memberikan beban setara dengan menempuh jarak 27 kilometer. Tekanan berlebih ini berpotensi memicu kelelahan ekstrem hingga gangguan kardiovaskular.
Dokter Tirta menekankan bahwa olahraga trail memaksa tubuh bekerja dua hingga tiga kali lebih keras. Kondisi ini sangat berbahaya jika peserta tidak memiliki persiapan latihan yang memadai.
“Karena kita berhadapan juga dengan cuaca yang tidak menentu,” tambahnya.
Perubahan cuaca, kemiringan jalur, hingga kadar oksigen di ketinggian turut memengaruhi kerja organ vital. Faktor-faktor tersebut dapat mempercepat tubuh mengalami kelelahan.
Ia mengamati bahwa banyak kasus fatal terjadi ketika sinyal peringatan dari tubuh diabaikan oleh peserta. Ketidaktahuan terhadap tanda bahaya inilah yang seringkali meningkatkan risiko.
Dokter Tirta berharap masyarakat memahami bahwa ajang trail run bukan sekadar aktivitas lari biasa. Ada aspek medis penting yang wajib diperhatikan sebelum memutuskan untuk berpartisipasi dalam olahraga ekstrem.
“Jika ingin daftar maka harus sudah mengetahui kemampuan diri sendiri,” tutur Tirta.
Ia menambahkan, rute yang curam naik-turun dapat meningkatkan tekanan pada otot dan jantung. Kombinasi kondisi tersebut sangat rentan memicu cedera hingga gagal jantung.
Sebagai seorang dokter, ia menilai pemeriksaan kesehatan sebelum mengikuti kompetisi sangatlah penting. Langkah ini menjadi evaluasi awal untuk menilai kemampuan fisik secara objektif.
Dokter Tirta mengimbau peserta untuk tidak meremehkan potensi masalah medis yang bisa muncul kapan saja. Keselamatan, tegasnya, harus selalu menjadi prioritas utama, melampaui ambisi untuk menyelesaikan lomba.
Edukasi medis bagi peserta dianggap sebagai kunci pencegahan agar kejadian serupa tidak terulang. Pemahaman dasar mengenai stamina dan batas kemampuan tubuh dapat menyelamatkan nyawa.
Ia menegaskan bahwa olahraga trail menuntut kombinasi antara kekuatan fisik dan pengetahuan mengenai risiko. Keduanya menentukan kemampuan peserta dalam menghadapi tantangan jalur ekstrem.
Di akhir penjelasannya, Dokter Tirta mengajak publik untuk lebih peduli terhadap kesehatan sebelum berkompetisi. Ia berharap tragedi ini menjadi pengingat pentingnya kesiapan medis dalam menjajal olahraga ekstrem.
“Itu saja dari saya, jangan lupa latihan dan salam sehat,” tutupnya.
Sumber: Grid.id






