Banjir Aceh dan Sumut, Dedi Mulyadi Inisiasi Pembangunan Jabar Berbasis Ekologi
Menyaksikan langsung dampak parah bencana banjir dan longsor di Aceh serta sejumlah wilayah di Sumatera, Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat, menegaskan komitmennya untuk mengarahkan pembangunan di provinsi yang dipimpinnya ke arah yang lebih berlandaskan pada prinsip ekologi.
Kunjungan kerja ke daerah-daerah yang dilanda bencana tersebut memberikan pelajaran berharga bagi Dedi Mulyadi mengenai pentingnya penanganan dan pencegahan bencana sejak dini. Ia melihat bagaimana kerusakan sistem lingkungan hidup dan ekologi menjadi akar persoalan utama yang memicu bencana tersebut.
“Saya belajar pak, saya kemarin ke Aceh, ke Sumbar (Sumatera Barat) kemudian Sumut (Sumatera Utara) saya pelajari,” ujar Dedi Mulyadi, dikutip dari unggahannya di Instagram @dedimulyadi71.
Dedi Mulyadi mengamati bahwa kemudahan air dan lumpur menerjang wilayah bencana diakibatkan oleh hilangnya tutupan hutan, yang sebagian besar telah beralih fungsi menjadi perkebunan sawit. Ia menekankan perbedaan mendasar antara vegetasi hutan alami dengan tanaman sawit.
“Ketika dihantam air, lumpur kok mudah sekali, karena tidak ada pohon lagi, yang ada perkebunan sawit,” jelasnya.
Menurut Dedi, pohon sawit memiliki karakteristik yang berbeda dengan pohon hutan. Ia menggambarkan sawit sebagai pohon yang “manja” karena membutuhkan perawatan intensif dan tidak sekuat pohon hutan dalam menahan gelombang, lumpur, maupun getaran.
“Sawit itu tidak tahan terhadap gelombang, lumpur terhadap getaran, dia bukan pohon untuk melindungi tapi dia pohon manja untuk dilindungi,” papar Dedi Mulyadi.
Ia juga menyoroti bahaya dari vegetasi homogen yang mendominasi perkebunan sawit. Keragaman ekosistem hutan yang hilang digantikan oleh keseragaman tanaman sawit, yang dinilainya berisiko bagi kelestarian lingkungan.
“Semua menjadi homogen, yang homogen itu berbahaya bagi Indonesia, bagi kebinekaan,” tegasnya.
Dampak lain yang terlihat adalah hilangnya lahan pangan masyarakat, tercemarnya sungai, dan minimnya lahan pertanian seperti sawah di lokasi bencana.
Menanggapi kondisi tersebut, Dedi Mulyadi berencana menerapkan kebijakan pembangunan yang berfokus pada perbaikan tata kelola lingkungan di Jawa Barat. Langkah-langkah konkret seperti pengembalian fungsi sungai, bendungan, serta penataan kawasan rawan bencana di wilayah seperti Bekasi, Bogor, dan Bandung telah mulai menunjukkan hasil positif.
“Kita bisa melihat dalam 10 bulan terakhir ini waktu saya menjabat saya melakukan penanganan di Bogor, di hulu, melakukan penanganan di Bekasi. Sampai saat ini arealnya relatif sangat baik,” ungkapnya.
Selanjutnya, perhatian akan difokuskan pada wilayah selatan Jawa Barat yang memiliki lereng gunung yang banyak beralih fungsi menjadi permukiman dan perkebunan sayur, yang berisiko tinggi terhadap banjir dan longsor.
“Nantinya kita juga akan bergerak ke Selatan, karena banyak lereng-lereng gunung itu berubah menjadi areal pemukiman dan perkebunan sayur, dengan risiko banjir dan longsor yang sangat tinggi,” paparnya.
Dedi Mulyadi menekankan pentingnya mitigasi bencana sejak dini melalui upaya penghijauan gunung dan lereng, serta pengembalian fungsi lahan pertanian dan sungai.
“Kami ingin memitigasi, mencegah bencana di Jawa Barat dengan cara menghijaukan gunung, lereng, mengembalikan fungsi pesawahan, sungai. Karena biaya pencegahan lebih murah dibanding dengan recovery (pemulihan) bencana,” tandasnya.
Pendekatan pembangunan berbasis ekologi ini bertujuan untuk menciptakan keseimbangan antara manusia dan lingkungan, di mana manusia diposisikan sebagai bagian dari sistem kehidupan yang saling bergantung, bukan sebagai penguasa alam.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat, melalui koordinasi dengan dinas terkait, berkomitmen untuk mengembalikan fungsi hutan, perkebunan, dan sungai sesuai dengan peruntukannya.
“Kami ingin mengembalikan fungsi hutan, perkebunan ke fungsinya, mengembalikan fungsi sungai yang dikelola BWWS maupun PJT, agar kembali ke fungsinya,” tegasnya.
Sumber: Grid.id