Bagong juga menambahkan bahwa tindakan ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan mengemis secara konvensional, di mana para pelakunya berupaya mendapatkan belas kasihan dari orang lain.
Hanya saja, platform dan caranya yang berbeda, dengan memanfaatkan teknologi dan media sosial sebagai medium baru.
Baca juga: Mengenal Farida Nurhan, Eks-TKW yang Kini Jadi Food Vlogger
Eksploitasi Penderitaan untuk Keuntungan
Fenomena ‘ngemis online’ tidak hanya dilakukan oleh individu-individu dewasa seperti Yanti.
Kini, banyak kreator yang melibatkan lansia atau bahkan anak-anak dalam konten mereka untuk menambah dramatisasi dan meningkatkan simpati penonton.
Taktik semacam ini dinilai efektif untuk membuat penonton merasa iba dan tergerak memberikan hadiah.
Menurut Bagong, sebagian masyarakat tampaknya menikmati konten yang menampilkan penderitaan orang lain.
Semakin ekstrem atau tersiksa seseorang dalam video, semakin besar kemungkinan penonton akan memberikan lebih banyak hadiah.
“Ada sebagian masyarakat yang merasa terhibur melihat penderitaan orang lain, dan ini dimanfaatkan oleh kreator untuk meraih keuntungan,” ujar Bagong.
Ia mengkritisi tren ini sebagai bentuk eksploitasi, terutama ketika kreator menggunakan orang tua atau anggota keluarga lainnya dalam konten semacam itu.
Imbauan untuk Tidak Mendukung Konten Eksploitasi
Banyak pihak yang mulai khawatir dengan tren ‘ngemis online’ yang semakin meluas.
Bagong sendiri mengimbau agar masyarakat tidak mendukung atau memberikan hadiah kepada konten kreator yang mengeksploitasi penderitaan, baik itu diri mereka sendiri atau orang lain.